Makalah Gerakan-gerakan Pendidikan


MAKALAH GERAKAN-GERAKAN PENDIDIKAN


PENDAHULUAN 

1. Latar Belakang

Sistem-sistem di Indonesia masih menggunakan nilai-nilai budaya lama. Di sisi lain pendidikan itu juga mengalami perubahan seiring berubahnya zaman. Pendidikakan pada pandangan yang ada itu berlandaskan filsafat tertentu yang kemudian memunculkan aliran-aliran filsafat atau gerakan-gerakan pendidikan sebagai reaksi dari konsep dan praktik pendidikan sebelumnya. Pandangan setiap aliran berbeda-beda terhadap pendidikan tersebut di kehidupan bermasyarakat dan berbudayaan. Pendidik diharapkan mampu mengkaji pendidikan dengan baik.

2. Tujuan

1) Dapat menjelaskan pandangan filsafat Pendidikan Progresivisme.

2) Dapat menjelaskan pandangan filsafat Pendidikan Essensialisme.

3) Dapat menjelaskan pandangan filsafat Pendidikan Perenialisme.

4) Dapat menjelaskan pandangan filsafat Pendidikan Konstruktivisme

Baca : Sejarah UUD 1945


PEMBAHASAN 

1. Progresivisme

1.1 Latar Belakang

Progresivisme adalah gerakan pendidikan yang dilakukan oleh suatu perkumpulan yang dilandasi konsep-konsep filsafat tertentu, dan sangat berpengaruh dalam pendidikan bangsa Amerika pada permulaan abad ke-20. Perkumpulan Progresivisme (The Progrsive Eucation Association) di dirikan pada tahun 1918 yang kurang lebih selama 20 tahun merupakan jiwa yang merasuki bangsa Amerika. Progresivisme memberikan perlawnan formalitas yang berlebihan dan membosankan dari pendidikan yang tradisional, Progresivime anti terhadap otoritarianisme dalam berbagai bidang kehidupan terutama dalam bidang kehidupan agama, moral, sosial, politik, dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu menyampaikan seruan kepada para guru yang artinya: “kita semua membutuhkan kemajuan dan berharap untuk maju secara cepat setelah perang dunia pertama (Handerson,1959). Progresivisme menekankan pada perkembangan individual seperti cooperation, sharing, dan adjustment pada tahun 1944 The Progresive Education Association berubah nama menjadi The American Education Fellowship yang pada saat itu mengalami kemunduran. Progresivime dilandasi oleh filsafat pragmatisme dari Jhon Dewey (1859-1952). Dewey dikenal sebagai orang berpengaruh dan berperan penting dalam rangka pendirian serta perkembangan progresivisme.


1.2 Pandangan Ontologi

a. Evolusionistis dan pluralistis

Progresivisme bersifat anti fisika. Progresivisme memandang eksistensi alam atau dunia dari sudut pandang prosesnya. Jhon dewey dalam bukunya “Creative Intellegennce” (1917) menyatakan bahwa “…sifat utama pragmatism mengenai realita, sebenarnya dapat dikatakan dengan tepat bahwa tiada teori realita yang umum…Teori demikian adalah tidak mungkin dan tidak perlu” ( J Donald Butler,1968).

b. Manusia

Progresivisme memandang manusia sebagai subjek yang bebas dan memiliki potensi intelegensi sebagai instrument untuk mampu menghadapi dan memecahkan masalah sehingga ia memiliki kemampuan untuk menghadapi lingkungan hidupnya.

c. Pengalaman Sebagai Realitas

Menurut Dewey, “pengalaman adalah key-concept, kunci pengertian manusia atas segala sesuatu…Pengalaman ialah suatu realita yang telah meresap dan membina pribadi” (Mohammad Noor Syam, 1984”). Pengalaman adalah ciri dinamika hidup, sedangkan hidup dan pengalaman adalah perjuangan, tindakan, dan perbuatan. Asas Ontologi jelas didasarkan atas pengalaman. Pengalaman manusia mempunyai empat karakteristik, yaitu spatial, temporal, dinamis, dan pluralistic (Mohammad Noor Syam, 1984).

d. Pengalaman dan Pikiran

Manusia memiliki berbagai potensi intelegensi seperti kecerdasan, kemampuan mengingat, imajinasi, membuat lambing, atau symbol-simbol,menghubung-hubungkan, merumuskan, memecahkan masalah, membuat gambaran masa depan. Semua itu memungkinkan manusia dapat berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain dan lingkungan lain yang lebih luas.


1.3 Pandangan Aksiologi

a. Sumber Pengetahuan

Progresivisme mengajarkan bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman dimana manusia kontak langsung dengan segala realita dalam lingkungan hidupnya.

b. Kriteria “Kebenaran”

Pengetahuan dikatakan benar apabila dapat diverifikasi dan diaplikasikan atau diimplementasikan dalam kehidupan.

c. Sifat Pengetahuan : relatif dan berubah

Pengetahuan diperoleh melalui pengalaman yang bersifat relatif dan berubah.


1.4 Pandangan Aksiologi

a. Sumber Nilai: kondisi riil manuasia / pengalaman

Progresivisme menafsirkan hakikat nilai (etika) secara empiris, yaitu berdasarkan pengalaman atau kondisi riil manusia.

b. Sifat Nilai: berada dalam proses, relatif, kondisional, memiliki kualitas sosial dan individual, serta dinamis.

Nilai ada dalam perbuatan manusia yang selalu diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Nilai memiliki kualitas sosial, karena pada dasarnya semua nilai merupakan produk dari kenyataan sosial.

c. Kriteria Nilai: berguna adalah baik

Sesuatu dikatakan baik apabila berguna dalam praktik hidup dan kehidupan.

d. Demokrasi sebagai nilai

Progresivisme memandang demokrasi sebagai nilai ideal yang wajib dilaksanakan dalam semua bidang kehidupan. Demokrasi adalah nilai individual sekaligus nilai sosial.


1.5 Pandangan Tentang Pendidikan

a. Pendidikan

Menurut Progresivisme pendidikan selalu dalam proses perkembangan yang merekontruksi pengalaman yang terus menerus. Progresivisme menekankan 6 prinsip mengenai pendidikan dan atau belajar, yakni: 1) Pendidikan seharusnya adalah hidup itu sendiri bukan persiapan untuk kehidupan; 2) Belajar harus langsung berhubungan dengan minat anak; 3) Belajar melalui pemecahan masalah lebih diutamakan daripada pemberian bahan pelajarann; 4) Guru berperan sebagai pemberi nasehat bukan untuk mengarahkan; 5) Sekolah harus menggerakkan kerjasama dari pada kompetisi; 6) Demokrasilah satu-satunya yang memberi tempat dan menggerakkan pribadi-pribadi saling tukar-menukar ide secara bebas.

b. Tujuan Pendidikan

Penganut progresivisme pendidikan bertujuan agar peserta didik (individu) memiliki kemampuan memecahkan berbagai masalah baru dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial.

c. Sekolah

Sekolah yang baik adalah masyarakat yang baik dalam bentuk kecil, sedangkan pendidikan yang mencerminkan keadaan dan kebutuhan masyarakat perlu dilakukan secara teratur sebagaimana halnya dalam lingkungan sekolah (Imam Barnadib, 1984). Dewey memandang sekolah sebagai suatu masyarakat dalam ukuran kecil yang murid-muridnya dapat belajar dan mempraktekkan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dalam suasana demokratis.

d. Kurikulum

Kurikulum tidak ada yang universal, melainkan berbeda-beda sesuai kondisi yang ada.

Child centered: kurikulum disesuaikan dengan sifat-sifat peserta didik

Community centered: Kurikulum hendaknya berbasis pada masyarakat

flexible: kurikulum disesuaikan dengan tempat dan jamannya.


e. Metode

Problem solving method (pemecahan masalah) dan Inquiry and discovery method (penyelidikan dan penemuan). Dalam pelaksanaan dibutuhkan guru yang memiliki karakteristik : permissive (pemberi kesempatan), friendly (bersahabat), a guide (seorang pembimbing), open minded (berpandangan terbuka), creative (kreatif), social aware (sadar bermasyarakat), enthusiastic (antusias), cooperative and sincare (bekerja sama dan sungguh-sungguh).

f. Peranan guru dan peserta didik.

Edward J. Power menyimpulkan guru berperanan untuk memimpin dan membimbing pengalaman belajar tanpa ikut terlalu jauh atas minat dan kebutuhan peserta didik.

Baca : Makalah Sistem Pemerintahan Indonesia

2. Essensialisme

2.1 Latar Belakang

Essensialisme berusaha mencari dan mempertahankan hal-hal yang esensial, yaitu sesuatu yang bersifat inti atau hakikat fundamental atau unsur mutlak yang menentukan keberadaan sesuatu. Pendidikan harus bersendikan nilai-nilai yang mendatangkan kestabilan.


2.2 Filsafat Pendukung yang Melandasi

Essensialisme didukung atau dilandasi oleh filsafat Idealisme dan realisme. Filsuf-filsuf besar Idealisme pelatak dasar asas-asas Essensialisme yang hidup pada jaman klasik yaitu Plato, sedangkan para filsuf Idealisme modern adalah : Leibniz, Immanuel Kant, Hegel, dan Schopenhauer. Filsuf-filsuf besar Realisme pelatak dasar asas-asas Essensialisme yang hidup pada jaman klasik yaitu Aristoteles dan Democritos. Filsuf modern yang memperkuat ide-ide Essensialisme adalah Thomas Hoobes, John Locke, G. Barkeley, dan David Hume.


2.3 Pandangan Ontologi

Pandangan Ontologi Essensialisme merupakan suatu konsepsi bahwa dunia atau realitas ini dikuasai oleh tata (order) tertentu yang mengatur dunia beserta isinya.

a. Ontologi Idealisme

Pendukung Essensialisme adalah idealisme obyektif atau idealisme absolut yang meyakini adanya dunia (realitas) ideal yang abadi dan dunia (realitas) material yang temporal serta fana. Dapat disimpulkan Idealisme hakikat akhir realitas adalah ide, jiwa, pikiran atau kesadaran. Ide Yang Absolut, Yang Esa, yaitu Tuhan, kausa sempurna dari peristiwa tunggal yang meliputi keseluruhan realitas. Segala sesuatu yang ada dan yang akan terjadi di dunia ini adalah menurut tata tertentu bersumber dari Yang Absolut. Inilah yang esensial itu.

b. Ontologi Realisme

Pendukung Essensialisme adalah realisme obyektif yang hakikatnya bersifat eksternal / obyektif, artinya berada diluar subyek atau manusia dan independen dari pikiran manusia. Manusia memiliki intelegensi sehingga mampu berpikir untuk dapat menyesuaikan diri terhadap dunia eksternalnya. Dalam evolusi kehidupan intelegensi adalah alat adaptasi manusia terhadap perubahan lingkungan.


2.4 Pandangan Epistemologi

a. Epistemologi Idealisme

Kemampuan manusia untuk berpikir logis dapat mengambil kesimpulan yang valid adalah suatu perwujudan proses yang sistematis yang juga kita temukan dalam makrokosmos walau kesadaran manusia bersifat terbatas tapi dapat memahami melalui mikrokosmos, yaitu realita dirinya sendiri, pemahaman atau pengertiannya ini akan memberi kesadaran untuk mengerti realita yang lain.

b. Epistemologi Realisme

Menurut realisme obyektif sumber pengetahuan adalah dunia luar subyek, pengetahuan diperoleh melalui pengalaman pengamatan.


2.5 Pandangan Aksiologi

a. Aksiologi Idealisme

Para filsuf Idealisme sepakat bahwa nilai hakikatnya diturunkan dari realitas Yang Absolut, maka nilai-nilainya adalah abadi atau tidak berubah. Hegel menyimpulkan karena negara manivestasi Tuhan maka wajib bagi warga negara untuk setia dan menjunjung negara. Menurut Immanuel Kant dasar nilai sosial itu adalah kemerdekaan individu yang akan memberi dasar bagi kehidupan sosial yang adil dan sejahtera.

b. Aksiologi Realisme

Para filsuf Realisme percaya bahwa standar nilai tingkah laku manusia di atur oleh hukum alam, dan pada taraf yang lebih rendah diatur melalui konvensi atau kebebasan, adat istiadat di dalam masyarakat.


2.6 Pandangan tentang Pendidikan

a. Pendidikan

Bagi penganut Essensialisme percaya bahwa pendidikan harus berdasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradapan manusia.

b. Tujuan Pendidikan

Pendidikan bertujuan mentransmisikan kebudayaan untuk menjamin solidaritas sosial dan kesejahteraan umum. (E.J. Power, 1982)

c. Sekolah

Fungsi utama sekolah adalah memelihara nilai-nilai yang telah turun-temurun, dan menjadi penuntun penyesuaian orang (individu) kepada masyarakat. (Imam Barnadib, 1984) Sekolah yang baik adalah sekolah yang berpusat pada masyarakat yaitu sekolah yang mengutamakan kebutuhan dan minat masyarakat. (Madjid Noor, dkk, 1987)

d. Kurikulum

Kurikulum (isi pendidikan) direncanakan dan diorganisasi orang dewasa atau guru sebagai wakil masyarakat (society centered). Kurikulum terdiri atas berbagai mata pelajaran yang berisi ilmu pengetahuan, agama dan seni yang dipandang esensial.

e. Metode

Metode pendidikan essensialisme menyarankan agar sekolah-sekolah mempertahankan metode-metode tradisional yang berhubungan dengan disiplin mental.

f. Peranan guru dan peserta didik.

Guru atau pendidik berperan sebagai mediator atau jembatan antara dunia masyarakat atau orang dewasa dengan dunia anak.


3. Perenialisme

3.1 Latar Belakang

Perenialisme percaya mengenai adanya nilai-nilai, norma-norma yang bersifat abadi dalam kehidupan ini. Perenialisme mempunyai kesamaan dengan Essensialisme dalam hal menentang Progrevisme yang membedakan adalah prinsip perenialist yang relegius. Perenialisme dilandasi atau didukung oleh filsuf Yunani Klasik, yaitu Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Pada abad ke 20, perenialisme di pengaruhi dan di dukung oleh Filsafat Humanisme Rasional dan Supernaturalisme Thomas Aqwinas. Seperti Robert M. Hutchins, Mortimer J. Adler, mempunyai reputasi internasional sebagai perenialist.


3.2 Filsafat Pendukung

Gagasan-gagasan perenialisme merupakan integritas antara asas-asas filosofis Yunani klasik dengan asas-asas religius Kristen yang berkembang pada abad pertengahan. Tokohnya adalah Plato dan Aristoteles. Pada abad kedua puluhan perenialisme dipengaruhi dan didukung oleh filsafat Humanisme Rasional dan Supernaturalisme yang tokoh-tokohnya adalah : Robert M. Hutchins dan Mortimer J. Adler, yang mempunyai reputasi internasional sebagai perenialist.


3.3 Pandangan Ontologis

Menurut Perenialisme manusia membutuhkan jaminan bahwa realitas bersifat universal-realitas itu ada dimanapun dan sama di setiap waktu. Realitas bersumber dan bertujuan akhir kepada realitas Supernatural/Tuhan (asas Supernatural).


3.4 Pandangan Epistemologi

Manusia sebagai makhluk berpikir akan dapat memperoleh pengetahuan tentang diri kita dan dunia sebagaimana adanya. Mempang Perenialisme mengakui bahwa impresi atau kesan melalui pengamatan tentang individual thing adalah pangkal pengertian tentang kebenaran. Prinsip self-evidence ( bukti diri ) amat penting dalam perenialisme yang merupakan asas bagi suatu kebenaran dan untuk membuktikan kebenaran. Berpikir dalam rangka memperoleh pengetahuan yang benar hanya mungkin atas dasar hukum-hukum berpikir secara deduktif (syllogisme). Perenialisme mengakui adanya hubungan antara science dan filsafat, namun science memiliki kedudukan lebih tinggi.

Baca : Teori Belajar Humanistik - Sosial

3.5 Pandangan Aksiologi

Pandangan tentang hakikat nilai menurut Perenialisme adalah pandangan mengenai hal-hal yang bersifat spiritual atau Absolut atau Ideal (Tuhan) adalah sumber nilai dan oleh karena itu nilai selalu bersifat teologis. (Imam Barnadib, 1984).


3.6 Pandangan tentang Pendidikan

Perenialisme memandang education as culture regression, pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan masa lampau yang dianggap sebagai kebudayaan ideal. Robert M. Hutchins mengemukakan “pendidikan mengimplikasikan pengajaran – pengajaran mengimplikasikan pengetahuan – pengetahuan mengimplikasikan kebenaran – kebenaran dimanapun dan kapanpun adalah sama. Karena itu dimanapun dan kapanpun pendidikan adalah sama”. Menurut Perenialisme tujuan pendidikan adalah membantu peserta didik menyingkapkan dan menginternalisasikan nilai-nilai kebenaran yang abadi agar mencapai kebijakan dan kebaikan dalam hidup. Sekolah bagi perenialisme merupakan peraturan-peraturan yang artificial dimana peserta didik berkenalan dengan hasil yang paling baik dari warisan sosial-budaya.Kurikulum pendidikan bersifat subject centered berpusat pada materi pelajaran yang bersifat uniform, universal, dan abadi. Perenialisme menggunakan metode membaca dan diskusi. Peranan guru adalah sebagai “murid” yang mengalami proses belajar sementara mengajar.


4. Konstruktif

4.1 Latar Belakang

Konstruktivime adalah aliran filsafat yang tema utamanya berkenaan dengan hakikat pengetahuan. Berimplikasi terhadap pendidikan, khususnya dalam bidang pendidikan sains dan matematika. Ada 3 jenis konstruktivisme, yaitu :

a. Konstruktivisme Psikologis Pribadi – yang menekankan bahwa pribadi (subyek) sendirilah yang mengonstruksikan pengetahuan.

b. Konstruktivisme Sosiologis – yang lebih menekankan masyarakat sebagai pembentuk pengetahuan.

c. Sosiokulturalisme – yang mengakui baik peranan aktif personal maupun masyarakat dan lingkungan dalam pembentukan pengetahuan.

Tidak seperti aliran-aliran terdahulu, idealisme, rasionalisme, empirisme atau Obyektivisme meragukan kebenaran paradigma lama. Konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan seseorang adalah konstruksi (bentukan) orang yang bersangkutan karena itu transfer pengetahuan dari guru kepada siswa tidak mungkin.


4.2 Filsafat Pendukung

Giambatista Vico yang merupakan cikal bakal konstruktivisme mengungkapkan filsafatnya “ Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan”. “Mengetahui” berarti “mengetahui bagaimana membuat sesuatu”. Artinya, seseorang dipandang mengetahui jika ia dpt menjelaskan unsur-unsur yang membangun sesuatu itu serta bagaimana membuatnya.


4.3 Pandangan Ontologi

Konstruktivitas menolak pandangan Obyektivisme (Empirisme) yang menyatakan bahwa realitas itu ada terlepas dari pengamat dan dapat diketahui melalui pengalaman. Menurut konstruktivisme, manusia tidak pernah dapat mengerti realitas yang sesungguhnya secara ontologis. Konstruktivisme memandang manusia dituntut aktif membangun sendiri pengetahuannya.


4.4 Pandangan Epistemologi

Bagi penganut Empirisme sumber pengetahuan adalah “dunia luar”, sumber pengetahuan penganut Nativisme adalah “ dari dalam”, an bagi Konstruktivisme sumber pengetahuan itu berasal dari dunia luar tetapi dikonstruksikan dari dalam diri individu. Kebenaran pengetahuan diletakkan pada viabilitas (kemungkinan untuk dapat hidup). Pengetahuan memiliki sifat-sifat:

a. Subyektif, pengetahuan lebih menunjuk kepada pengalaman seseorang akan dunia daripada dunia itu sendiri.

b. Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada orang lain.

c. Pengetahuan bukan barang mati yang sekaligus jadi, melainkan suatu proses yang terus berkembang.

d. Pengetahuan bersifat relatif, sebab itu nilai bagi konstruktivis juga bersifat relatif.


4.5 Pandangan tentang Pendidikan

Konstrktivisme memandang pendidikan (mengajar) bukan sebagai kegiatan menyampaikan pengetahuan, melainkan membantu siswa berpikir secara benar dengan membiarkan berpikir sendiri. Tujuan pendidikan lebih mengutamakan perkembangan konsep dan pengetahuan yang mendalam sebagai hasil konstruksi aktif siswa. Kurikulumnya merupakan program aktivitas dimana pengetahuan dan ketrampilan bisa dikonstruksi. Metode mempertimbangkan multimetode untuk dipilih, sebab anak mempunyai caranya sendiri untuk mengerti. Peran guru adalah sebagai mediator dan fasilitator dalam membantu siswa belajar. Adapun sebagai siswa dituntut aktif belajar dalam rangka mengunstruksikan pengetahuannya.

Baca : Hubungan Antara Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter dalam Perekonomian


PENUTUP 

1. Kesimpulan

Dari keempat gerakan gerakan pendidikan di atas dapat kami simpulkan bahwasanya tiap aliran memiliki pandangan yang berbeda mengenai pendidikan dalam kaitannya dengan masyrakat dan kebudayaannya. Progesivisme cenderung menentang sesuatu yang statis, lebih mengarah ke sesuatu yang fleksibel dalam ilmu pengetahuan. Sangat bertentangan dengan essesialisme yang lebih cenderung mempertahankan hal-hal yang bersifat inti atau hakikat fundamental. Sedangkan perenialisme percaya mengenai hal-hal yang bersifat aksiomatis dan religious. Dan yang terakhir adalah suatu filsafat yang hubungannya dengan sains dan matematika mengatakan bahwa ada tiga hal yang dapat menentukan pengetahuan yakni diri sendiri, masyarakat serta peran aktif dalam lingkungan maupun masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA 


Arbi, S. Z., dan Syahrun, S. (1992/1993). Dasar-Dasar Kependidikan.

Proyek Pembiayan Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdikbud.

Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. (1977). Karya Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Langeveld, M. J. (1980). Paedagogik Teoritis – Sistematis. Bandung: Jemmars.

Syaripudin, T. (2003). Landasan Kependidikan Sekolah Dasar. FIP IKIP Bandung.

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

0 Response to "Makalah Gerakan-gerakan Pendidikan"

Post a Comment